Buat yang belum tahu, saya cerita deh kasus Luna Maya yang dituntut oleh PWI (perhimpunan wartawan indonesia ; kalo gw ga salah ingat) karena postingan Lunmay(itu nicknya dia, setelah kejadian ini acc-nya langsung dihapus) di Twitter yang isinya ""Infotemnt derajatnya lebh HINA dr pd PELACUR, PEMBUNUH!!!! may ur soul burn in hell!!...".
Namun gw ga mau bahas lebih lanjut tentang Luna Maya (iy gw tau dulu sebelum ngejar2 ariel dia sempet ngejer2 gw). Yang mau gw tekankan, sadar gak sih dokter saat ini posisinya udah mirip kaya artis? Kita para dokter sama aja kaya para artis itu, dituntut oleh masa media untuk menjadi pribadi yang sempurna. Salah sedikit bisa jadi kita dituntut.
Artis, sama halnya dengan dokter juga merupakan manusia yang dari sononya emang tidak sempurna. Namun entah sejak kapan, dari ketidaksempurnaan itu (yang notabene adalah esensi manusia) kita dituntut menjadi Figru yang sempurna. Laksana pualam tak bercacat (ceile bahasanya ga tahan bow sok puitis…)
Lunmay sebagai Public figure dituntut oleh media masa untuk menjadi pribadi yang santun, sopan kata-katanya, gak boleh ngumbar emosi di depan publik, karena ada satu saja keburukan dia maka akan menjadi santapan empuk para wartawan. Ingat bagi media "Bad News is a Good News!" sama halnya dengan posisi dokter saat ini. Dokter dituntut mbok yah kasi pelayanan diagnosisnya bener 100%, terapinya tepat 100% dan pasiennya sembuh 100%, kalau nda seperti itu, itu namanya malpraktek!" benarkah demikian?
Oleh PWI lunmay dituntut dengan pasal Pasal 27 ayat 3 UU ITE, ancamannya sih katanya 3 tahun kalau ga mau dikurung yah paling denda kaya kasusnya prita gitu. Sedangkan buat dokter, ga usah kasih contoh lagi dah berapa banyak kasus penuntutan malpraktek yang berakhir di meja hijau dan berakhir dengan UUD (ujung ujungnya duit) dan mungkin habis itu praktek tuh dokter (atau Rumah sakit) bakalan sepi dah karena namanya udah jelek.
Yah Mungkin sudah saatnya kita mengedukasi Masyarakat, dokter bukan Tuhan. Dokter cuman manusia biasa saja yang sudah sekolah di fakultas kedokteran minimal 6 tahun, yang dimana dengan segala kekurangan dan keterbatasannya sebagai seorang manusia berusaha memahami betapa megah dan besarnya ciptaan Tuhan yang mahakuasa ini. Dari itulah ia (baca Dokter) berusaha menolong orang lain dari segala keterbatasannya. Gak mungkin dengan 6 tahun sekolah seluruh ilmu kedokteran yang ada telah dipelajari dan dihafal dengan sempurna luar kepala (well mungkin beberapa orang jenius yang masuk kedokteran bisa aja sih) dan dengan sempurna menganalisa isi tubuh pasien, laksana montir jenius yang dapat langsung mengetahui letak kerusakan mesin dan menganti sparepartnya.
Masyarakat perlu diedukasi, setiap tindakan medis apapun memiliki risiko. Pasien sering berkata "dokter tolong lakukan yang terbaik untuk kesembuhan istri/ibu/ayah/anak/kakek saya dok, berapapun akan saya bayar." Trus kalo kita (baca dokter) sudah berusaha namun istri/ibu/ayah/anak/kakek tetap tak dapat ditolong, apakah artinya kita tidak melakukan yang terbaik? Jadi kalau bukan yang terbaik jadi dokter itu malparaktek dong? Begitu kan pikiran masyarakat.
Baik atau buruk suatu hal itu subjektif. Dokter hanya dapat berusaha sebatas kemampuannya. Lebih dari itu, Kesembuhan atau tidak, bertahan hidup atau tidak merupakan misteri Tuhan. Maka dari itu pentingnya kita membangun komunikasi yang baik kepada pasien. Memberi empati kepada pihak pasien dan keluarganya adalah senjata terbaik yang dimiliki dokter untuk melindungi dirinya dari berbagai tuntutan, selama semua tindakan medis yang dilakukan adalah benar sesuai dengan standar prosedur, kecuali dalam keadaan gawat darurat.
So akhir kata, tulisan ini dibuat hanya sekedar menyampaikan uneg2 aja, mungkin ada satu dua kata yang terlalu sotoy mohon maaf. Kripik, eh kritik dan saran silahkan disampaikan, kalau mau dirajam batu bilang dulu nanti aye kabur dulu wqwqwqwqwq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar