Sabtu, 31 Desember 2011

Timba Laor

Setahun sekali di perairan pulau Saparua (juga di ambon dan kepulauan lease disekitarnya) Pada saat hari ketiga setelah bulan purnama di bulan maret akan muncul cacing laut. Penduduk setempat menamai cacing ini Cacing Laor. Dalam bahasa indonesia cacing ini lebih dikenal sebagai cacing Wawo atau nama ilmiahnya yang keren adalah Eunice viridis. Species sejenis juga muncul di daerah Nusa tenggara dan lebih dikenal dengan nama Nyale dan dirayakan secara meriah di sana.
Kegiatan menangkap Laor disebut sebagai timba laor. Alat yang digunakan pun sederhana saja, semacam jaring yang dipasang pada rangka segitiga. Tahun 2011 Timba laor jatuh pada tanggal 23 maret. Saya mengikuti perahu semang keluarga Matulessy pada kegiatan timba laor waktu itu.
Habitat hidup cacing Laor adalah pantai yang berbatu batu yang bersih. Menurut pengakuan Om Matu jumlah Laor dari tahun ke tahun makin sedikit. Hal ini mungkin disebabkan pencemaran laut di saparua yang meningkat mengingat masyarakat masih suka membuang sampah ke laut.
Sore hari sekitar pukul 18.30 saya sudah berkumpul di tepi pantai belakang kota, Saparua. Keluarga om Matu sedang menyiapkan lampu petromaks sebagai penerang di laut nanti yang juga berfungsi untuk menarik Laor untuk berkumpul sehingga mudah ditangkap. Pukul 18.45 matahari sore sudah hampir menghilang, kami pun bergegas naik ke perahu semang menuju ke daerah timba laor yang terletak sebelah tenggara pantai ini. Angin dingin menyambut perahu kami yang tengah melaju, untung saya sudah persiapan pakai jaket yang agak tebal. Herannya Om Matu dan menantu lelakinya yang hanya mengenakan singlet dan celana pendek biasa biasa saja tidak kedinginan. Mungkin mereka sudah biasa melaut setiap malam sehingga tubuhnya kebal.
Sekitar 10 menit kemudian kami sudah tiba di tempat tujuan, dari kejauhan sudah tampak kerumunan lampu di sana. Seperti biasa banyak penduduk yang turun untuk timba laor yang hanya terjadi setahun sekali. Di air laut yang jernih itu mulai tampak sosok cacing-cacing kecil berwarna biru dan merah keluar menggeliat. Semakin lama semakin banyak cacing yang muncul sehingga warna cacing mendominasi air laut. Laut nampak seperti berselimut permadani merah biru yang terjalin dari ribuan benang kusut. Om Matu pun menghentikan perahu serta membuang sauh di perairan yang dangkal, kira kira setinggi perut orang dewasa. Tanpa ragu ia dan menantunya menceburkan diri ke laut dan segera mulai menimba Laor sebanyak banyaknya. Saya pun penasaran mencelupkan tangan ke dalam lautan cacing itu lalu kegelian sendiri. Masyarakat di sini percaya kalau ada luka di anggota tubuh sebaiknya tidak kontak dengan laor karena cacing ini dapat menembus masuk ke dalam luka. Cacing laor yang berhasil saya pegang entah kenapa putus sendiri menjadi segmen-segmen kecil.
Setelah kurang lebih satu jam menimba laor dan mendapat seember besar laor, jumlah laor di laut pun nampak menipis. Dan ketika bulan sudah menampakkan cahaya terangnya maka biasanya berakhir pula kegiatan timba laor karena cacing-cacing ini pun menghilang misterius entah kemana. Menurut pak Matu hal ini karena saat cahaya rembulan sudah keluar cacing-cacing ini sudah berenang ke lautan yang lebih dalam serta tidak mengumpul lagi di sekitar cahaya lampu petromaks. Laor yang dibawa pulang akan dimasak menjadi Laor Rempah yang tahan dibotolkan selama sebulan dan biasanya dikirimkan ke sanak saudara yang kangen kampungnya. Selain dimasak dengan rempah laor juga dikonsumsi dengan cara dicampurkan ke telor kocok lalu dibuat telur dadar. Konon kandungan protein laor cukup baik, hanya karena cara pengolahannya yang banyak memakai minyak dan dipanaskan hati-hati ya jangan kebanyakan nanti kolesterolnya juga naik.

Tidak ada komentar: